Jumat, 04 Mei 2012

Fungsi &tugas mahasiswa sebagai generasi muda dlm meninggkat rasa nasionalisme dengan Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan


fungsi dan tugas mahasiswa adalah dengan cara meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan terhadap kemajuan bangsa indonesia yaitu dengan cara sama-sama satu tujuan yaitu dengan cara meningkatkan kualitas belajar dan meningkatkan rasa kepedulian terhadap anak negeri masa mendatang atau memberi pelajaran kepada anak negeri generasi muda mendatang.

Pendidikan dan Pendidikan Politik
Pendidikan
Pendidikan sendiri menurut Lengeveld adalah membimbing anak didik dari tingkat belum dewasa menuju ke kedewasaan. Berarti kriteria keberhasilan pendidikan adalah kedewasaan.

Ki Hajar Dewantara, seorang Bapak Taman Siswa, menganggap pendidikan sebagai “daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek)) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya” (Wasty Soemanto Hendayat Soetopo, 1982:3).

Konsep Model Pendidikan di Indonesia
Sejak berkembangnya kebudayaan manusia Indonesia, konsep pendidikan anak pada masa prenatal mau pun pos-natal melalui pendidikan informal/keluarga telah terpola secara kultural. Apalagi setelah Civilized Human Being di Indonesia itu menganut agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini “benang emas” pengaruh keagamaan tetap dominan baik dalam konsep maupun dalam tujuan pendidikan. Bahkan sejak lama sebelum Indonesia merdeka lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia telah sanggup melaksanakan pendidikan formal dengan tujuan dan konsep serta sistem pendidikan yang matang. Konsep pendidikan formal ala Indonesia, terutama bagi pendidikan umum mulai berkembang sejak lahirnya pergerakan nasional yang dipelopori oleh “Boedi Oetomo”. Hal ini bangkit karena bangsa Indonesia yakin bahwa untuk mencapai kemerdekaan, melenyapkan penjajahan harus dilawan dengan kecerdikan diplomasi bukan hanya dengan mengangkat senjata. Kecerdikan dan kearifan itu hanya bisa dimiliki melalui pendidikan intelektual dan moral.

Konsep pendidikan yang menonjol baik yang dapat bertahan sampai sekarang mau pun yang hanya tinggal pengaruhnya dan mewarnai/diserap oleh konsep pendidikan nasional masa kini, antara lain:
a) Pendidikan Muhammadiyah
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah ini membuka tabir masyarakat terisolasi akibat penjajahan adalah kehidupan beragama secara terbuka, memasyarakat dan bersatu, kehidupan sosial, kehidupan politik, dan perhatian terhadap kepentingan nasional. Dengan singkat konsep pendidikan ini mendasarkan diri kepada asas sosial edukatif, religius, dan nasional. (Pemuka : K.H.A. Dahlan).

b) Pendidikan Taman Siswa
Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Asas pendidikan Taman Siswa ditekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: (i) asas kemerdekaan, (ii) asas kodrat alam, (iii) asas kebudayaan, (iv) asas kebangsaan, dan (v) asas kemanusiaan (Pemuka: Ki Hajar Dewantara).

c) Pendidikan INS Kayutanam
Konsep pendidikan yang dipolakan oleh Indische Nationale School Kayutanam merupakan konsep pendidikan yang lebih memperhatikan pemupukan bakat anak. Konsep ini terpengaruh oleh cita-cita John Dewey yang pragmatis dan Kerschensteiner dengan “Arbeitschule”-nya dengan didorong oleh keyakinan bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, mesti semuanya ada gunanya. Bila tidak berguna pasti karena kita tidak dapat menggunakannya. Dasar pendidikan adalah “aktivitas” dengan tujuan “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri (self help).” Akan tetapi, sistem ini hanya berkembang sebagian pada konsep PLS sekarang (Pemuka: Muhammad Sjafei).

d) Pendidikan Nasional setelah Indonesia Merdeka
Bila kita kaji lebih teliti, maka konsep pendidikan nasional Indonesia yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil ramuan halus dari nilai-nilai budaya bangsa dengan ragi penyegar pengaruh teori-teori dan konsep pendidikan yang diresepsi secara teliti dan hati-hati dari unsur-unsur pendidikan Barat yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa tersebut. Kemudian, apabila kita kaji pula azas dan tujuan dari konsep pendidikan nasional Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang mengandung jalur konsistensi yang pada prinsipnya berasas Pancasila dan dijadikan upaya bagi menuju kesejahteraan bangsa.


Sampai saat ini, konsepsi pendidikan nasional ditinjau dari segi kebutuhan pembangunan bangsa adalah:
(1) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
(2) Pendidikan bersifat semesta, artinya meliputi semua segi kehidupan manusia dan unsur kebudayaan: moral dan etika, logika, estetika, keterampilan, dan sebagainya. Menyeluruh artinya seluruh kegiatan pendidikan meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan, di dalam dan di luar sekolah. Terpadu artinya seluruh usaha dan kegiatan pendidikan jelas kaitan fungsional antara jenjang dan jenis serta serasi dengan pembangunan nasional.
(3) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan oleh karena itu harus menjadi alat pelestarian dan pembangunan kebudayaan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat.
sumber : www.SETNEG.GO.ID

Rabu, 02 Mei 2012

Faktor-faktor Pemicu Tindakan Kriminal dan Kekerasan



Ada beberapa hal yang mempengaruhi para pelaku dalam melakukan tindakan kriminali dan kekerasan. Faktor ekonomi mungkin yang paling berpengaruh dalam terjadi tindakan kriminal dan keadaan ini akan semakin parah pada saat tertentu seperti misalnya pada Bulan Puasa (Ramadhan) yang akan mendekati Hari Raya Idul Fitri. Pada saat ini kebutuhan masyarakat akan menjadi sangat tinggi baik primer maupun skunder dan sebagian orang lain mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutahannya dengan melakukan tindakan kriminal dan bahkan disertai dengan tindakan kekerasan.  Dan ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi terjadinya tindakan kriminal dan kekerasan antara lain sebagai berikut :
1.   Pertentangan dan persaingan kebudayaan
      Hal ini dapat memicu suatu tindakan kriminal yang mengacu pada kekerasan bermotif SARA (Suku, Agama, Ras, Aliran) seperti yang terjadi pada kerusuhan di Sampit antara orang Madura dan orang Kalimantan
2.   Kepadatan dan komposisi penduduk
      Seperti yang terjadi di kota Jakarta, karena kepadatan dan komposisi penduk yang sangat padat dan sangat padat di suatu tempat mengakibatkan meningkatnya daya saing, tingkat strees, dan lain sebagianya yang berpotensi mengakibatkan seseorang atau kelompok untuk berbuat tindakan kriminal dan kekerasan.
3.   Perbedaan distribusi kebudayaan
Distribusi kebudayaan dari luar tidak selalu berdampak positif bila diterapkan pada suatu daerah atau negara. Sebagai contoh budaya orang barat yang menggunakan busana yang mini para kaum wanita, hal ini akan menggundang untuk melakukan tindakan kriminal dan kekerasan seperti pemerkosaan dan perampokan. 
4.   Mentalitas yang labil
      Seseorang yang memiliki mentalitas yang labil pasti akan mempunyai jalan pikiran yang singkat tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Layaknya seorang preman jika ingin memenuhi kebutahannnya mungkin dia hanya akan menggunakan cara yang mudah, seperti meminta pungutan liar, pemerasan dan lain sebagainya.
5.   Tingkat penganguran yang tinggi
      Dikarenakan tingkat penganguran yang tinggi maka pendapatan pada suatu daerah sangat rendah dan tidak merata. Hal ini sangat memicu seseorang atau kelompok untuk melakukan jalan pintas dalam memenuhi kebutahannya dan mungkin dengan cara melakukan tindak kriminal dan kekerasan.
Namun selain faktor-faktor di atas tindakan kriminal dan kekerasan dapat terjadi jika ada niat dan kesempatan. Maka tindak kriminal dan kekerasan dapat dilakukan oleh siapa, tidak hanya oleh preman atau perampok, bahkan dapat dilakukan oleh orang yang paling dekat bahkan orang yang paling dipercaya.


Dampak Dari Tindakan Kriminal dan Kekerasan
Setiap perbuatan pasti memiliki dampak dari perbuatannya. Termasuk juga dalam tindakan kriminal dan kekerasan yang pasti akan berdampak negatif  seperti :
1. Merugikan pihak lain baik material maupun non material
2. Merugikan masyarakat secara keseluruhan
3. Merugikan Negara
4. Menggangu stabilitas keamanan masyarakat
5. Mangakibatkan trauma kepada para korban
Dengan kata lain dampak dari fenomena tindakan kriminal dan kekerasan ini adalah mengakibatkan kersahaan dimasyarakat dan peran penegak hukum seperti polisi akan sangat diandalkan untuk menangulanginya, namun peran masyarakat juga akan sangat membantu para polisi dalam menangulangi seperti memberikan informasi dan pengamanan lingkungan sekitarnya dengan melakukan siskamling (sistem keamanan lingkungan) yang terintregasi dengan tokoh masyarakat dan polisi.

Solusi Penyelesaian Masalah
Setiap permasalahan pasti ada cara untuk mengatasinya dan ada beberapa cara untuk mengatasi tindak kriminal dan kekerasan, diantaranya sebagai berikut :
1.   Mengenakan sanksi hukum yang tegas dan adil kepada para pelaku kriminalitas tanpa pandang bulu atau derajat. Hal ini akan sangat ampuh untuk memberikan efek jera kepada para pelaku agar tidak mengulangi kembali tindakannya
2.   Mengaktifkan peran serta orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendidik anak. Dikarenakan hal ini merupakan dari pencegahan sejak dini untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal dan mencegah menjadi pelaku tindakan kriminal.
3.   Selektif terhadap budaya asing yang masuk agar tidak merusak nilai budaya bangsa sendiri. Karena setiap budaya luar belum tentu baik untuk budaya kita, misalnya berbusana mini, berprilaku seperti anak punk, dan lain sebagainya.
4.   Menjaga kelestarian dan kelangsungan nilai norma dalam masyarakat dimulai sejak dini melalui pendidikan multi kultural , seperti sekolah , pengajian dan organisasi masyarakat.
5.   Melakukan pelatihan atau kursus keahlian bagi para pelaku tindak kriminal atau penganguran agar memiliki keterampilan yang dapat dilakukan untuk mencari lapangan pekerjaan atau melakukan wirausaha yang dapat membuka lapangan kerja baru.
Solusi ini akan berjalan baik bila peran serta pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi permasalahan ini. Dan semua pihak harus melakukan rekonsiliasi untuk memulihkan ekonomi terutama dengan masyarakat kelas bawah dan harus diingat bahwa kemerosotan ekonomi mengakibatkan tingkat kejahatan meningkat.
Selain itu, perlu juga mempolisikan masyarakat. Artinya, ada fungsi pengamanan dan pencegahan kejahatan yang dijalankan oleh masyarakat. Kondisi sekarang sangat memprihatinkan; masyarakat seolah tidak peduli apabila terjadi kejahatan di sekelilingnya, bahkan di depan matanya, sikap tak acuh masyarakat itu dalam kerangka psikologi sosial dapat dipahami. dalam masyarakat modern telah ada semacam share of responsibility. Tugas keamanan telah diambil alih oleh agen-agen formal, yakni polisi itu sendiri. Dalam kerangka itu juga dapat difahami jika kita tidak lagi bisa berharap pada lembaga informal seperti tokoh masyarakat untuk mengendalikan keamanan karena peran-peran institusi informal telah diruntuhkan oleh pemerintah.
  Mencegah Tindakan Kriminal dan Kekerasan
Ada baiknya mencegah dari pada mengalami tindakan kriminal dan kekerasan. Berikut beberapa cara untuk mencegah atau menghindari tindakan kriminal dan kekerasan :
1.            Tidak memakai perhiasan yang berlebih
2.      Jangan mudah percaya kepada orang baru dikenal
3.      Tidak berpenampilan terlalu mencolok
4.      Bila berpergian ada baiknya tidak sendirian
5.      Menguasai ilmu bela dirI
oleh : diana dan riantri




Sosialisasi Peraturan Keimigrasian




Sosialisasi Peraturan Keimigrasian dilaksanakan secara berturut-turut di 4 kota besar di Indonesia yaitu Bali, Palembang, Surakarta dan Balikpapan yang berlangsung sepanjang bulan Juli 2010. Ini berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Imigrasi tanggal 7 Juni 2010 tentang Tim Pelaksana Sosialisasi Peraturan Keimigrasian  Tahun Anggaran 2010.
Narasumber Sosialisasi Peraturan Keimigrasian yaitu Husin Alaydrus, Direktur Penyidikan dan Penindakan Keimigrasian; Erwin Azis, Direktur Sistem Informasi Keimigrasian; Agastya Hari Marsono, Direktur Izin Tinggal dan Status Keimigrasian; R. Pramuningtyas H, Direktur Intelijen Keimigrasian. Pemaparan dan pembahasan mengenai  peraturan - peraturan    di  bidang keimigrasian Tahun 2009-2010 berlangsung secara interaktif dimana para peserta aktif mengajukan pertanyaan, tanggapan dan saran.
Maksud diadakannya Sosialisasi ini para peserta dapat memahami peraturan keimigrasian agar dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi saat bertugas dan dapat menjelaskan pada masyarakat yang membutuhkan penjelasan; serta adanya persamaan persepsi atas peraturan keimigrasian yang berlaku.
Sosialisasi dihadiri oleh para pejabat dan pegawai di lingkungan Divisi Keimigrasian Kantor Wiayah, Kantor Imigrasi, Divisi Keimigrasian Kanwil, Rumah Detensi Imigrasi seluruh Indonesia. 
Materi Sosialisasi Peraturan Kemigrasian antara lain : Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor HH-01.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M. HH-03.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M. HH-01.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-04.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-04.GR.01.06 Tahun 2009 tentang Visa Tinggal Terbatas Kemudahan Saat Berlibur; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-06.GR.01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara Persyaratan Pengenaan Tarif Rp. 0,00 (Nol Rupiah) Bagi Pemohon Izin Keimigrasian, Orang Asing Terkena Biaya Beban dan SPRI;  Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.GR.01.01 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor   M.HH-06.GR.01.01 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Persyaratan Pengenaan Tarif Rp. 0,00 (Nol Rupiah) Bagi Pemohon Izin Keimigrasian, Orang Asing Terkena Biaya Beban dan SPRI; Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-08.GR.01.06 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.02-12.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Keimigrasian; Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.329.GR.01.06 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan dan Gugurnya Izin Keimigrasian; Surat Edaran Dirjenim Nomor IMI-GR.01.06-3426 Tahun 2010 tentang Visa Atas Kuasa Sendiri dalam rangka Kegiatan Bisnis bagi WNA dari Negara yang memerlukan Calling Visa;  Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.2-GR.01.01-2.82 Tahun 2010 tentang Bebas Visa bagi WNA Pemegang Paspor Diplomatik/Dinas; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-491.IZ.03.02 Tahun 2010 tentang Pengamanan Blanko SPRI yang tidak dapat Dilanjutkan Proses Penerbitannya; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-UM.01.10-3105 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Pengenaan Tarif Rp. 0,00 (Nol Rupiah); Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-UM.01.10-3153 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor:M.HH-06.01.GR.01.01 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengenaan Tarif Rp 0,00 (Nol Rupiah) bagi Pemohon Izin Keimigrasian, Orang Asing yang Terkena Biaya Beban, dan SPRI; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.2-UM.01.01-1.67 Tahun 2010 tentang Prosedur dan Biaya Permohonan Paspor; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.2-UM.01.10-1.168 Tahun 2010 tentang Penertiban Pengurus Biro Jasa Keimigrasian; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-PR.08.01-163 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Pas Lintas Batas bagi Warga Negara Indonesia di Wilayah Perbatasan; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-GR.01.13-56 Tahun 2010 tentang Alih Status Keimigrasian dalam rangka Menggabungkan Diri dengan Suami atau Istri Warga Negara Indonesia; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-IZ.01.10-1217 Tahun 2010 tentang Persyaratan Visa Dan Itas Bagi Pelajar/Mahasiswa Asing; Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1227.OT.03.01 Tahun 2009 tentang Pemberian Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) dalam rangka menyampaikan Pernyataan menjadi Warga Negara Indonesia; Instruksi Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI.270.IN.04.01 Tahun 2009 tentang Penggunaan Akses Internet; Instruksi Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-448.PW.01.10 Tahun 2010 tentang Pengawasan Penyelesaian Proses Kerja Pelayanan Keimigrasian.
Peraturan pertama yang dibahas adalah mengenai  Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-04.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-01.GR.01.06 Tahun 2010 tentang Visa Kunjungan Saat Kedatangan; Peraturan yang kedua disampaikan adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-GR.01.13-56 Tahun 2010 tentang Alih Status Keimigrasian dalam rangka Menggabungkan Diri dengan Suami atau Istri Warga Negara Indonesia; Peraturan mengenai Dit. Penyidikan dan Penindakan tentang Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-GR.01.06-3426 Tahun 2010 tentang Visa Atas Kuasa Sendiri dalam rangka Kegiatan Bisnis bagi WNA dari Negara yang Memerlukan Calling Visa.
oleh : admin (direktorat jendraL IMIGRASI) 
 

Asas-asas menentukan kewarganegaraan dari segi kelahiran dan perkawinan

Asas Kewarganegaraan
 
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya. Dari segi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai,yaitu ius soli dan ius sanguinis. Sedangkan dari segi perkawinan, ada dua asas pula yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.[19]
Untuk lebih jelasnya satu persatu asas-asas tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
1.   Dari Segi Kelahiran[20]
Terdapat dua macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Sehingga ius soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Kaitannya dengan asas kewarganegaraan, ius soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Orang yang lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X tersebut. Asas yang ke dua adalah ius sanguinis berarti pedoman yang didasarkan kepada darah atau keturunannya atau orang tuanya . Orang yang lahir dari orang tua warga negara Y akan memperoleh kewarganegaraan dari negara Y itu.
Terdapat negara yang menganut asas ius soli, dan ada pula yang menganut asas ius sanguinis[21]. Dewasa ini umumnya kedua asas ini dianut secara simultan. Perbedaannya, ada negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli sebagai kekecualian[22]. Sebaliknya terdapat pula penggunaan asas ius  soli , dengan ius sanguinis sebagai kekecualian.
Penggunaan kedua asas secara simultan ini dimaksudkan untuk menceagah status apatride atau tidak berkewarganegaran (stateless). Artinya apabila terdapat seseorang yang tidak memperoleh kewarganegaraan dengan penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih dapat memperoleh kewarganegara dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
Kondisi sebaliknya jika sebuah atau beberapa negara menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah bipatride atau dwi kewargenageraan (berkewarganegaraan ganda), bahkan multipatride (berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua). Sebagai contoh, Negara X menganut asas ius sanguinis, sedangkan negara Y menganut asas ius soli. Maka setiap orang yang lahir di negara Y dari orang tua yang berkewaganegaran X, akan mempunyai status baik sebagai warna negara Y maupun negara X, karena ia keturunan warga negara X, ia pun memperoleh status warga negara Y, karena ia lahir di negara Y.
Jika seseorang lahir di negara X dari orangtua warga negara Y, ia akan berstatus apatride. Ia ditolak oleh negara orang tuanya (negara Y), sebab ia tidak lahir di sana.Ia pun ditolak oleh negara tempat ia lahir (negara X), karena negara tersebut menganut asas ius sanguins. Artinya menurut ketentuan negara X, ia seharusnya memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya.
Pada mulanya hanya ada satu asas yaitu ius soli, karena hanya beranggapan bahwa karena lahir suatu wilayah negara, logislah apabila seseorang merupakan warga negara dari negara tersebut. Akan tetapi dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan asas lain yang tidak terbatas pada tempat kelahiran semata. Orang tua tentu masih mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Masalah akan timbul ketika kewarganegaraan anaknya berlainan dengan kewarganegaraan orang tuanya sendiri. Anak memperoleh kewarganegaraan dari tempat ia dilahirkan , sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas yang baru, yaitu ius sangunis tersbut. Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orangtuanya.
Sebagian besar negara imigratif pada prinsipnya lebih menggunakan ius soli sebagai asas kewarganegaraannya. Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warga negaranya banyak merantau ke negara lain) cenderung menggunakan asas kewarganegaraan ius sanguinis. Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganegaranya. Negara emigratif ingin tetap mempertahankan warga negaranya. Di manapun mereka berada, mereka tetap merupakan bagian dari warga negaranya. Sebaliknya negara imigratif menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negara yang baru itu.
2.   Dari Segi Perkawinan[23]
Melalui perkawinan lahirlah dua asas, yaitu asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Sebuah perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan seseorang. Masalah kewarganegaraan dalam konteks ini akan muncul apabila terjadi suatu perkawinan campuran,yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Munculnya kedua asas ini berawal dari kedudukan pihak wanita di dalam perkawinan campuran itu.
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami isteri ataupun ikatan dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat dan masyarakat akan sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak terpecah. Kehidupan suami isteri yang baik mencerminkan satu kesatuan keluarga yang utuh dan harmonis, dan ini tercipta karena terdapatnya satu kesatuan yang utuh dan bulat dalam keluarga, dan untuk mencapai kesatuan dalam keluarga diperlukan satu kepatuhan terhadap hukum yang sama.
Terdapat nilai-nilai positif dari penyelenggaraan kehidupan keluarga tersbut apabila para anggota keluarga itu tunduk pada hukum yang sama, misalnya dalam masalah keperdataan: pengaturan harta kekayaan, status anak, dan lain-lain. Karena itu akan baik dan bahagia sebuah rumah tangga jika dalam keluarga tersebut memiliki kewarganegaraan yang sama yang secara otomatis tunduk pada satu hukum yang sama.
Permasalahannya, siapakah yang harus mengikuti kewarganegaraan pasangannya? Apakah suami harus mengikuti kewarganegaraan isterinya ataukah sebaliknya? Pada kedua sisi ini dapat saja kedua-duanya terjadi sebagai satu pilihan. Akan tetapi dalam praktik pihak isterilah yang mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Sebagai reaksi dari penggunaan asas ini, muncul satu bentuk protes dari kalangan perempuan yang menganggap bahwa dengan asas ini seolah-olah atau kaum perempuan berada pada derajat yang bawah atau bertentangan dengan prinsip emansipasi wanita yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan. Dalam prinsip emansipasi wanita, laki-laki sama saja dengan perempuan dan tidak mau untuk dibeda-bedakan. Sebagai reaksi dari rasa ketidakadilan ini muncul asas baru yaitu asas persamaan derajat.
Pada asas persamaan derajat ini ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan berubahnya satus kewarganegaraan masing-masing pihak. Baik pihak suami maupun pihak isteri tetap memiliki kewarganegaraan asalnya, sama ketika mereka melangsungkan perkawinan.
Dari sisi kepentingan nasional masing-masing negara asas persamaan derajat ini mempunyai aspek yang positif. Asas ini jelas dapat menghindari terjadinya penyelendupan hukum.  Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh status warga negara tertentu berpuran-pura melakukan perkawinan dengan seorang warga negara dari negara yang dituju. Melalui perkawinan itu, orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan. Setelah status kewarganegaraan diperoleh, maka dapat saja bercerai kembali. Untuk hal ini banyak negara mengatur masalah penggunaan asas ini dalam peraturan kewarganegaraannya.
Seperti halnya asas ius soli dan ius ius sanguinis, penggunaan dua asas kesatuan hukum persamaan derajat yang berlainan dapat menimbulkan status bipatride dan apatride, khususnya bagi wanita. Melalui perkawinan seseorang wanita dapat mempunyai kewarganegaraan lebih dari satu. Sebaliknya melalui perkawinan pula seorang wanita dapat kehilangan kewarganegaraannya.
Sebagai contoh: Negara X menganut asas kesatuan hukum, sedangkan negara Y menganut asas persamaan derajat. Jika seorang laki-laki warga negara X menikah dengan seorang wanita yang berkewarganegaraan Y, si wanita akan berkewarganegaraan rangkap (bipatride), karena menurut ketentuan negara Y ia tidak diperkenankan untuk melepaskan kewarganegaraannya (warganegara Y). Sementara  itu menurut ketentuan dari negara suaminya (negara X) ia harus menjadi negara X mengikuti satus suaminya.
Akan terjadinya sebaliknya jika seorang wanita negara X sementara suaminya berkewarganegaraan Y, ia akan memiliki status apatride. Ia ditolak oleh negara suaminya (negara Y), karena menurut ketentuan negara Y suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak. Sedangkan di negaranya sendiri (negara X) kewarganegaraannya telah lepas, karena perkawinannya dengan laki-laki asing, ia harus melepaskan kewarganegaraan X-nya untuk mengiukti kewarganegaraan suaminya.
Di samping asas-asas tersebut di atas dalam menentukan kewarganegaraan dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan,yaitu[24]: (a) stelsel aktif; dan (b) stelsel pasif. Menurut stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif menjadi warga negara. Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakuakn sesuatu tindakan hukum tertentu.
Berhubungan dengan ke-dua stelsel tersebut maka harus dibedakan: (a) hak opsi,yaitu hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif) dan (b) hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).
by : new pulliero n kobi( yayan endian,S.H,M.H,)