Sabtu, 16 April 2011

belajar

(Cara) Belajar berPuisi
oleh sony

Dari sebuah keisengan lahirlah sebuah pandangan,


Belajar berPuisi:

Untuk memulainya saya berikan sebuah kasus yang menimpa teman saya sendiri:
"Teman Saya dikatakan naksir seseorang" Itu assumsi dari Cak Soleh waktu baca puisi teman saya ditanggapi oleh seorang Mbak.

Kemudian Semakin berkembang ketika beberapa hari berikutnya teman
saya juga menuliskan puisi lagi degan tema cinta yang patah hati.

Apa yang membuat Cak Soleh mengassumsikan demikian karena adanya
persepsi yang diambil dari asosiasi-asosiasi dari kejadian tersebut.
Menghubungkan satu hal dengan yang lain dan mencoba menyimpulkan.
Padahal kenyataannya sama sekali lain dengan apa yang dibayangkan
oleh Cak Soleh ini.

Mekanisme apa yang terjadi dari asosiasi-asosiasi ini adalah hubungan
konotasi dari ungkapan yang tidak langsung dan karena kekurangan
informasi secara detail.Dan menurut teoris puisi : ketaklangsungan ungkapan
adalah salah satu fundamen dari puisi.

Yang menjadi ciri khas dari genre puisi adalah ketaklangsungan,
kekurangan dan ekonomisasi. Hal ini justru disengaja dalam puisi
agar menghasilkan bias, ketidakjelasan yang menggoda imajinasi.

Dengan wahana asosiasi inilah puisi memainkan peranannya yang main-
main sekaligus mendesak alam sadar kita agar mencari presisi
pemaknaan sesuai dengan hasil identifikasinya terhadap persepsi yang
dihasilkan oleh puisi.

Mengapa puisi tak langsung? Apa seorang penyair adalah seorang yang
juga peragu? Hanya penuh buncah kata ? Dan pelit karena memotong-
motong informasi?

Dalam versi saya, seorang penyair bertujuan untuk menggoda asosiasi,
ada nada main main sekaligus serius, apa perlunya? Agar seorang
pembaca mau melakukan eksplorasi, mau membuka cakrawala tanpa merasa
digurui. Penipu ulung yang memainkan bawah sadar, yang membuat
pembacanya rela untuk menafsirkannya dengan kebenarannya sendiri.

Menyampaikan tanpa menggurui, bagaimana bisa? Tentu saja bisa bila
yang dipermainkan adalah asosiasi (menghubung-hubungkan). Pembaca
merasa tidak digurui oleh bejibun info, dan todongan kata-kata,
bahkan bisa jadi tertantang untuk menghubung-hubungkannya, bukan
begitu? Penyair bukan dosen dan guru, apalagi sok tahu, dia hanya
membuat komposisi agar pembacanya tergelitik dan tergerak.

Bagaimana agar permainan asosiasi bisa berjalan wajar dan mulus?
Sesuatu dianggap wajar, mulus dan tidak menggurui apabila seseorang
bisa merasakann apa yang ingin disampaikan tidak secara verba atau
kata-kata, tetapi dengan contoh dan realitas di sekeliling kita.
Dengan begitu saya akan menginjak masalah perumpamaan dan simbolisasi.

Dengan meniru realitas(mimetik) perumpamaan memegang peranan yang
sangat penting, atau bahasa susahya metafora. Seseorang akan merasa
dekat apabila perumpamaan yang digunakan itupun mampu menggugah
inderaan mereka. Disini akan sangat dekat dengan imajisme, dimana
yang coba di sentuh adalah indera penciuman kita, penglihatan,
pendengaran, sentuhan, dan cita rasa. Karenanya tak heran seorang
pembaca puisi dengan suka rela mengikuti apa yang disampaikan oleh
penyair-karena dia bisa mengindera, dan mempercayainya karena
melibatkan banyak dimensi inderaan. Jika demikian akan semakin mudah
untuk memberikannya berbagai muatan emosi.

Bagaimana menuntun emosi, yah tentu saja tidak dengan cara diceramahi
bukan? Karena emosi adalah rasa, dan rasa biasanya mudah didekati
dengan inderaan, maka sepertinya mempengaruhi emosi terasa lebih
efektif bila menggunakan metafora imajis.

Melaju kepada tanda yang lebih tinggi yaitu simbol.

Apa yang membedakan antara metafora dan simbol, didalam semiotika
tanda dibedakan menjadi indeks, ikon, maupun simbol. Indek bisa
dikatakan makna leksikon atau makna kamus apa adanya seperti itu,
contoh bila saya tulis kursi; maka itu mengacu kepada tempat duduk
tanpa efek konotasi. Singkatnya Indeks=makna kamus, Ikon= hubungan
kemiripan, dan Simbol=hubungan arbitrasi atau melalui perjanjian (ini
yang paling rumit)

Bendera putih : makna indeksnya yah mengacu kepada bendera yang
berwarna putih.

Mukanya seperti bendera putih yang berkibar ditiup angin, ini
mempunyai nilai ikonis-karena unsur kemiripan, metafora yg bisa
diidentifikasi bila kita menambahinya dengan kata seperti, bagaikan,
seumpama dsb

Kami mengibarkan bendera putih dan mereka berhenti menyerang, nuansa
simbolis sangat terasa; karena bila tak mengetahui konvensi
umum/internasional tentang bendera putih yang berkibar maka kita
tidak bisa menentukan arti bahwa bendera putih itu artinya menyerah.
Dengan begitu ada yang mengatakan antara simbol dan yang
dimaknakannya terdapat ketidakwajaran, bagaimana bisa wajar bendera
putih kok menyerah? Atau lambang palang merah kok berarti
pertolongan? Atau orang sehat kok berjalan pincang? Pasti ada maksud
tertentu dibalik itu.

Tetapi ada juga yang membedakan antara simbol dalam tataran semiotik
dengan simbol dalam tataran bahasa kias; dimana simbol atau lambang
dalam bahasa kias hubungan simbol dan yang disimbolkan dalam bentuk
aosiasi dan hubungan yang wajar. Seperti putih=suci, merah=berani,
api=semangat; tetapi ada juga kias yang terasa personal, seperti saya
suka sekali menggunakan istilah setengah rembulan.

Pengalaman empiris saya sebagai penyair kroco, saya seringkali
membaca dan melatih diri untuk mencari dan menemukan kategori dari
ungkapan yang di tuliskan para penyair, apakah itu termasuk indek
saja, ikon ataupun simbol untuk melatih kemampuan asosiatif saya. Ada
yang mau berlatih?

Ada yang mebedakan bahwa puisi berbeda dengan prosa ataupun prosa
liris, dimana dalam puisi tidak ditemui deretan peristiwa, ataupun
plot. Tetapi hanyalah sebuah monolog, dialog, dan naratif dimana
ungkapan aku liris tentang pengalaman orang lain. Karenanya puisi
kadang tidak melulu menggambarkan suasana, deskriptif tentang sesuatu
objek tetapi juga bisa digunakan serupa kisahan narasi. Bahkan, ada
yang melanggar batas-batas puisi tradisional menjadi prosa liris,
gabungan penceritaan, plotting dengan gaya puitis.

Tema, bagi saya tema memegang peranan penting dalam puisi sepanjang
itu ingin disampaikan kepada orang lain. Tetapi tema bisa pula
dijumpai secara tak sadar telah dibentuk oleh penyairnya, bahkan
penyairnya bisa saja membantah telah menerapkan tema tertentu. Tetapi
biasanya pembaca akan memaknainya sendiri dan menetukan tema sendiri
dari persepsinya atas puisi.

Ada satu metode yang menurut versi saya cukup ampuh untuk
setidaknya mendekati sebuah puisi, yaitu apa yang dikatakan freud
sebagai retak teks, yang kurang lebihnya kira-kira demikian
katakanlah tema, pesan atau ideologisasi seorang penulis itu bisa
dilihat dari apa yang sering diulang-ulangnya dan atau apa yang
berusaha dihindarinya.

Seorang agamawan biasanya akan mengulang-ulang tema spiritualitas dalam karyanya dan mencoba menghindari kata asosiatif yang terbuka dan vulgar tentang hal-hal yang ditabukan, seorang tukang demo biasanya berusaha menyampaikan pesan-pesan kritis dengan terbuka dan menghindari hal-hal yang romantis, dsb.

Tetapi, tentu saja yang harus dipahami adalah apa yang sampaikan itu
belum tentu benar dan sesuai mengingat puisi adalh dunia yang dinamis
dan serba mungkin akan penyelewengan, pelanggaran dan keanehan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar